Selasa, 01 November 2011

kali ciliwung masa kini .

Kategori: Foto Essay
Prolog: Kampung Melayu Kecil, sebuah blok perkampungan besar yang terjepit di antara Jatinegara, Jakarta Timur dan Tebet, yang masuk Jakarta Selatan adalah halaman permainan masa kecil saya yang luas dan tak terlupakan. Kami sekeluarga pindah dari Matraman ke Kampung Melayu Kecil I sejak saya berusia 4 tahun.  Dan kemudian menghabiskan 10 tahun berikutnya di sini. Salah satu tempat keseharian bermain, sepulang sekolah di SD Perguruan Rakyat IV-Poncol, salah satunya adalah pinggir kali Ciliwung. Berikut ini adalah cerita foto yang naratif menggambarkan ’playground’ tersebut yang direkam masa kini.
Sebuah spot paling menarik di pinggir Ciliwung tempat saya bersama teman-teman bermain adalah sebuah batang pohon kelapa yang tumbuh miring menjorok ke tengah kali. Di sini kami bergantian berlompatan mencebur ke dalam kali. Dirindangi rumpun bambu yang lebat menaungi pinggir kali, kami berenang ke seberang sebentar, lalu kembali dan menaiki batang pohon kelapa lagi dan melompat mencebur dengan keriangan yang luar biasa. Air kali Ciliwung sejak dulu memang berwarna kecokelatan, tetapi cokelat muda dari endapan tanah lumpur di dasarnya. Tidak seperti sekarang, cokelat tua kehitaman menandakan kandungan kotoran. Pohon kelapa itu juga berganti dengan sebuah jembatan besi yang entah digunakan untuk apa dan seperti penyaring sampah itu.
 
Seingat saya, walau sesekali saya berenang bersama kantong plastik bekas, tetapi tidak ada sampah yang tertumpuk di pinggir kali. Kali Ciliwung terasa masih lebar, dengan landaian tanah di tepiannya tempat kami duduk-duduk melepas kelelahan sekaligus mengeringkan badan sehabis berenang. Kini, tanah landai itu berganti tumpukan sampah. Berbagai macam bentuk dan warnanya dengan baunya yang super menyengat.
Sejak dulu banyak ibu-ibu yang mencuci baju di air kali yang keruh, juga pemulung yang mengaduk air mencari batu akik. Kini pemulung air mengobok air kali mencari paku, sendok, pisau, kayu serta barang-barang tak terpakai yang hanyut di kali.
 
Spot bermain lain yang kami sukai adalah getek. Getek adalah susunan batang bambu yang disusun rapat dan diikat tambang tebal, lalu diberi lapisan papan untuk berdiri. Getek digunakan sebagai sarana penyeberangan. Sesekali serangkaian getek dengan batang bambu yang lebih panjang dan lebih banyak menghilir dari Cawang menuju Manggarai. Ini getek yang dikirimkan melalui kali dari hutan bambu di Depok untuk diolah menjadi dinding bambu, kursi dan lain-lain. Jika getek ini lewat kami bergerombolan menaikinya lalu turun setelah berlayar 200-500 meter kemudian. Dulu, malah ada seorang teman yang bermain ke rumah teman lain di Condet dan memilih pulang naik getek! Saat ini getek menghilang dan penyeberangan menggunakan kapal tambang. Pak Pepen adalah seorang dari sedikit penambang di Ciliwung.
Tepian sungai yang dulu membatasi jalan dengan kali kini bertumpukan bedeng-bedeng kayu setengah semen yang digunakan tempat tinggal para pendatang dari Jawa. Mereka kebanyakan adalah penjual makanan keliling, seperti bakso, tukang gorengan, mie ayam atau sate.

Beberapa struktur rumah tersebut didirikan secara mengerikan, seakan-akan tinggal menunggu roboh saja. Saya merasa prihatin sekali melihatnya. Sebuah toilet umum teronggok di tepian dengan tutup papan seadanya. Terlihat pula sebuah pompa air yang dipakai menyedot entah air apa, air kali atau air tanah.
Siang itu sebuah pertengkaran antara suami istri dalam sebuah bedeng mengiringi saya memotret lingkungan sekitar. Sesekali rengekan dan tangis anak mereka meningkahi keributan itu. Tampaknya sang ayah bekerja sebagai petugas kebersihan kota.
 
Sayang saya belum berhasil menyewa kapal tambang untuk menyusur kali Ciliwung. Saya sudah berusaha membujuk pak Pepen untuk menyewakan kapal sederhananya beberapa jam saja, tetapi beliau lebih memilih menambang. Kasihan para penyeberang kali, katanya. Setiap orang yang menyeberang dikenainya tarif sebesar 500 perak. Ia bekerja bersama adiknya, giliran siang sampai sore dan anak sulungnya yang menambang dari sore hingga jam 9 malam. Satu shift kerja bisa menghasilkan antara 20 ribu perak hingga 30 ribu perak. Jam ramai tentu saja pagi dan sore hari, waktu di mana orang pergi dan pulang bekerja. Dari kawasan Kampung Melayu itu para penduduknya menyeberang kali, lalu menyusuri gang sempit hingga di jalan raya Jatinegara Barat.
 
Seorang ibu yang menyeberang bertanya penuh curiga pada saya yang sedang asyik memotret. ”..dipotretin,..emang mau digusur, ya pak?”.
Saya tersenyum sambil menggumam, pasti biaya penggusurannya mahal sekali ya...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar