Senin, 31 Oktober 2011

Asal mula tanjung priok

Periuk Nasi Habib Hasan, Asal Muasal Tanjung Priok Januari 15, 2010

Filed under: Kumbang Asal Usul — kumbang99 @ 10:34 am
Belasan buruh bangunan proyek tangki yang bekerja di kawasan Terminal Peti Kemas (TPK) Koja, Jakarta Utara, tiba-tiba mengalami keram di leher.
Peristiwa itu terjadi setelah salah seorang dari mereka membuang air kecil di sekitar proyek tangki. Kontan saja mereka mengaitkan kejadian itu dengan hal gaib. Soalnya di sekitar kawasan TPK Koja ada makam keramat yang disakralkan warga sekitar, yaitu makam Habib Hasan bin Muhammad Al-Haddad.
Makam ini terletak di Jalan Timur Raya, Kola, Jakarta Utara, tepatnya di dekat pintu masuk Terminal Peti Kemas Koja. Lokasi proyek yang dikerjakan para buruh itu hanya terpaut jarak 200 meter dari makam.
“…makam Habib Hasan itu dipercaya sebagai asal muasal nama Tanjung Priok”
Namun Umar, salah satu pengurus makam menegaskan, peristiwa keram yang dialami para buruh itu tidak ada hubungannya dengan keberadaan makam keramat Habib Hasan bin Muhammad Al-Haddad. “Makam Habib Hasan ini tempat bersejarah,” katanya.
Dikisahkannya, makam Habib Hasan itu dipercaya sebagai asal muasal nama Tanjung Priok. Karena itu orang kerap menyebut makam ini sebagai makam Mbah Priok.
Diceritakan, Habib Hasan bin Muhammad Al-Haddad lahir di Ulu, Palembang, Sumatera Selatan, pada tahun 1727 M. Masa kecil Habib Hasan banyak dihabiskan dengan belajar mengaji kepada kakek dan ayahnya di Palembang.
Saat remaja Habib Hasan mengembara beberapa tahun ke Hadramaut, Yaman Selatan, untuk memperdalam agama Islam. Dari Hadramaut, Habib kembali ke Palembang untuk melakukan syiar agama Islam sekaligus menemui adik bungsunya, Habib Zein bin Muhammad Al-Haddad yang kelahiran Palembang.
Keduanya lalu berlayar ke Pulau Jawa dengan tujuan menyiarkan agama Islam bersama tiga orang azami dari Palembang. Dalam perjalanan, rombongan berhadapan dengan kapal perang Belanda yang menghujani dengan meriam. Namun tidak satu pun peluru meriam Belanda tersebut mengenai perahu layar para habib, apalagi melukai tubuh penumpangnya.
Beberapa tahun kemudian, habib kembali ke tempat kelahirannya di Ulu, Palembang. Ketika itu banyak petani asal Banten yang dibantu para ulama berjuang melawan Belanda dan banyak ulama melarikan diri ke Palembang. Di Palembang mereka mendapat perlindungan Habib Hasan.
Dalam perjalanan selanjutnya menuju Batavia, mereka sempat singgah di beberapa tempat sampai akhirnya perahu mereka dihantam badai. Perahu terguncang dan perbekalan tumpah ke laut.
Beruntung ketika itu masih ada peralatan dapur, yakni periuk dan beberapa liter beras. Untuk menanak nasi, mereka menggunakan beberapa potong kayu kapal sebagai bahan bakar.
Suatu saat mereka kembali dihantam badai hingga perahu mereka pecah dan tenggelam. Habib Hasan menyelamatkan diri dengan mengapung menggunakan beberapa batang kayu pecahan perahu.
Karena tidak makan selama sepuluh hari, Habib Hasan jatuh sakit dan selang beberapa lama kemudian wafat.
Sementara pengikutnya, yakni Habib Ali Al-Haddad dalam kondisi masih lemah, bertahan duduk di pecahan perahu bersama jenazah Habib Hasan. Pecahan perahu itu terdorong oleh ombak-ombak kecil hingga terdampar di pantai utara Batavia.
Para nelayan yang menemukan segera menolong dan memakamkan jenazah Habib Hasan. Kayu dayung yang patah digunakan sebagai nisan di bagian kepada, dan di bagian kaki ditancapkan nisan dari sebatang kayu. Periuk nasi ditaruh di sisi makam dan sebagai pertanda, di makamnya ditanam bunga tanjung.
Masyarakat sekitar melihat kuburan yang ada periuknya itu bercahaya pada malam hari. Lama-kelamaan masyarakat mengmakan daerah tersebut Tanjung Periuk. Ada juga yang menyebut Pondok Dayung yang artinya dayung pendek. Sebenarnya tempat makam yang sekarang adalah makam pindahan dari makam asli yang berada di Pondok Dayung.
Berulang-ulang Belanda gagal menggusur makam Habib Hasan. Ketika makam digali dengan bantuan sang adik, jenazah Habib ditemukan masih utuh, begitu pula kain kafannya. Jasad itu lalu dipindahkan ke makam yang ada sekarang.

Asak Usul Malin Kundang

Malin Kundang
Malin Kundang
Malin Kundang adalah cerita rakyat yang berasal dari provinsi Sumatra Barat, Indonesia. Legenda Malin Kundang berkisah tentang seorang anak yang durhaka pada ibunya dan karena itu dikutuk menjadi batu. Sebentuk batu di pantai Air Manis, Padang, konon merupakan sisa-sisa kapal Malin Kundang.
Malin termasuk anak yang cerdas tetapi sedikit nakal. Ia sering mengejar ayam dan memukulnya dengan sapu. Suatu hari ketika Malin sedang mengejar ayam, ia tersandung batu dan lengan kanannya luka terkena batu. Luka tersebut menjadi berbekas dilengannya dan tidak bisa hilang.
Karena merasa kasihan dengan ibunya yang banting tulang mencari nafkah untuk membesarkan dirinya. Malin memutuskan untuk pergi merantau agar dapat menjadi kaya raya setelah kembali ke kampung halaman kelak.
Awalnya Ibu Malin Kundang kurang setuju, mengingat suaminya juga tidak pernah kembali setelah pergi merantau tetapi Malin tetap bersikeras sehingga akhirnya dia rela melepas Malin pergi merantau dengan menumpang kapal seorang saudagar.Selama berada di kapal, Malin Kundang banyak belajar tentang ilmu pelayaran pada anak buah kapal yang sudah berpengalaman.
Di tengah perjalanan, tiba-tiba kapal yang dinaiki Malin Kundang di serang oleh bajak laut. Semua barang dagangan para pedagang yang berada di kapal dirampas oleh bajak laut. Bahkan sebagian besar awak kapal dan orang yang berada di kapal tersebut dibunuh oleh para bajak laut. Malin Kundang beruntung, dia sempat bersembunyi di sebuah ruang kecil yang tertutup oleh kayu sehingga tidak dibunuh oleh para bajak laut.
Malin Kundang terkatung-katung ditengah laut, hingga akhirnya kapal yang ditumpanginya terdampar di sebuah pantai. Dengan tenaga yang tersisa, Malin Kundang berjalan menuju ke desa yang terdekat dari pantai. Desa tempat Malin terdampar adalah desa yang sangat subur. Dengan keuletan dan kegigihannya dalam bekerja, Malin lama kelamaan berhasil menjadi seorang yang kaya raya. Ia memiliki banyak kapal dagang dengan anak buah yang jumlahnya lebih dari 100 orang. Setelah menjadi kaya raya, Malin Kundang mempersunting seorang gadis untuk menjadi istrinya.
Berita Malin Kundang yang telah menjadi kaya raya dan telah menikah sampai juga kepada ibu Malin Kundang. Ibu Malin Kundang merasa bersyukur dan sangat gembira anaknya telah berhasil. Sejak saat itu, ibu Malin setiap hari pergi ke dermaga, menantikan anaknya yang mungkin pulang ke kampung halamannya.
Setelah beberapa lama menikah, Malin dan istrinya melakukan pelayaran disertai anak buah kapal serta pengawalnya yang banyak. Ibu Malin yang melihat kedatangan kapal itu ke dermaga melihat ada dua orang yang sedang berdiri di atas geladak kapal. Ia yakin kalau yang sedang berdiri itu adalah anaknya Malin Kundang beserta istrinya.
Ibu Malin pun menuju ke arah kapal. Setelah cukup dekat, ibunya melihat belas luka dilengan kanan orang tersebut, semakin yakinlah ibunya bahwa yang ia dekati adalah Malin Kundang. “Malin Kundang, anakku, mengapa kau pergi begitu lama tanpa mengirimkan kabar?”, katanya sambil memeluk Malin Kundang. Tetapi melihat wanita tua yang berpakaian lusuh dan kotor memeluknya Malin Kundang menjadi marah meskipun ia mengetahui bahwa wanita tua itu adalah ibunya, karena dia malu bila hal ini diketahui oleh istrinya dan juga anak buahnya.
Mendapat perlakukan seperti itu dari anaknya ibu Malin Kundang sangat marah. Ia tidak menduga anaknya menjadi anak durhaka. Karena kemarahannya yang memuncak, ibu Malin menyumpah anaknya “Oh Tuhan, kalau benar ia anakku, aku sumpahi dia menjadi sebuah batu”.
Tidak berapa lama kemudian Malin Kundang kembali pergi berlayar dan di tengah perjalanan datang badai dahsyat menghancurkan kapal Malin Kundang. Setelah itu tubuh Malin Kundang perlahan menjadi kaku dan lama-kelamaan akhirnya berbentuk menjadi sebuah batu karang. Sampai saat ini Batu Malin Kundang masih dapat dilihat di sebuah pantai bernama pantai Aia Manih, di selatan kota Padang, Sumatera Barat.

Asak Usul Danau Toba

Asal Usul Danau Toba

Di Sumatera Utara terdapat danau yang sangat besar dan ditengah-tengah danau tersebut terdapat sebuah pulau. Danau itu bernama Danau Toba sedangkan pulau ditengahnya dinamakan Pulau Samosir. Konon danau tersebut berasal dari kutukan dewa.
Di sebuah desa di wilayah Sumatera, hidup seorang petani. Ia seorang petani yang rajin bekerja walaupun lahan pertaniannya tidak luas. Ia bisa mencukupi kebutuhannya dari hasil kerjanya yang tidak kenal lelah. Sebenarnya usianya sudah cukup untuk menikah, tetapi ia tetap memilih hidup sendirian. Di suatu pagi hari yang cerah, petani itu memancing ikan di sungai. “Mudah-mudahan hari ini aku mendapat ikan yang besar,” gumam petani tersebut dalam hati. Beberapa saat setelah kailnya dilemparkan, kailnya terlihat bergoyang-goyang. Ia segera menarik kailnya. Petani itu bersorak kegirangan setelah mendapat seekor ikan cukup besar.
Ia takjub melihat warna sisik ikan yang indah. Sisik ikan itu berwarna kuning emas kemerah-merahan. Kedua matanya bulat dan menonjol memancarkan kilatan yang menakjubkan. “Tunggu, aku jangan dimakan! Aku akan bersedia menemanimu jika kau tidak jadi memakanku.” Petani tersebut terkejut mendengar suara dari ikan itu. Karena keterkejutannya, ikan yang ditangkapnya terjatuh ke tanah. Kemudian tidak berapa lama, ikan itu berubah wujud menjadi seorang gadis yang cantik jelita. “Bermimpikah aku?,” gumam petani.
“Jangan takut pak, aku juga manusia seperti engkau. Aku sangat berhutang budi padamu karena telah menyelamatkanku dari kutukan Dewata,” kata gadis itu. “Namaku Puteri, aku tidak keberatan untuk menjadi istrimu,” kata gadis itu seolah mendesak. Petani itupun mengangguk. Maka jadilah mereka sebagai suami istri. Namun, ada satu janji yang telah disepakati, yaitu mereka tidak boleh menceritakan bahwa asal-usul Puteri dari seekor ikan. Jika janji itu dilanggar maka akan terjadi petaka dahsyat.
Setelah sampai di desanya, gemparlah penduduk desa melihat gadis cantik jelita bersama petani tersebut. “Dia mungkin bidadari yang turun dari langit,” gumam mereka. Petani merasa sangat bahagia dan tenteram. Sebagai suami yang baik, ia terus bekerja untuk mencari nafkah dengan mengolah sawah dan ladangnya dengan tekun dan ulet. Karena ketekunan dan keuletannya, petani itu hidup tanpa kekurangan dalam hidupnya. Banyak orang iri, dan mereka menyebarkan sangkaan buruk yang dapat menjatuhkan keberhasilan usaha petani. “Aku tahu Petani itu pasti memelihara makhluk halus! ” kata seseorang kepada temannya. Hal itu sampai ke telinga Petani dan Puteri. Namun mereka tidak merasa tersinggung, bahkan semakin rajin bekerja.
Setahun kemudian, kebahagiaan Petani dan istri bertambah, karena istri Petani melahirkan seorang bayi laki-laki. Ia diberi nama Putera. Kebahagiaan mereka tidak membuat mereka lupa diri. Putera tumbuh menjadi seorang anak yang sehat dan kuat. Ia menjadi anak manis tetapi agak nakal. Ia mempunyai satu kebiasaan yang membuat heran kedua orang tuanya, yaitu selalu merasa lapar. Makanan yang seharusnya dimakan bertiga dapat dimakannya sendiri.
Lama kelamaan, Putera selalu membuat jengkel ayahnya. Jika disuruh membantu pekerjaan orang tua, ia selalu menolak. Istri Petani selalu mengingatkan Petani agar bersabar atas ulah anak mereka. “Ya, aku akan bersabar, walau bagaimanapun dia itu anak kita!” kata Petani kepada istrinya. “Syukurlah, kanda berpikiran seperti itu. Kanda memang seorang suami dan ayah yang baik,” puji Puteri kepada suaminya.
Memang kata orang, kesabaran itu ada batasnya. Hal ini dialami oleh Petani itu. Pada suatu hari, Putera mendapat tugas mengantarkan makanan dan minuman ke sawah di mana ayahnya sedang bekerja. Tetapi Putera tidak memenuhi tugasnya. Petani menunggu kedatangan anaknya, sambil menahan haus dan lapar. Ia langsung pulang ke rumah. Di lihatnya Putera sedang bermain bola. Petani menjadi marah sambil menjewer kuping anaknya. “Anak tidak tau diuntung ! Tak tahu diri ! Dasar anak ikan !,” umpat si Petani tanpa sadar telah mengucapkan kata pantangan itu.
Setelah petani mengucapkan kata-katanya, seketika itu juga anak dan istrinya hilang lenyap. Tanpa bekas dan jejak. Dari bekas injakan kakinya, tiba-tiba menyemburlah air yang sangat deras dan semakin deras. Desa Petani dan desa sekitarnya terendam semua. Air meluap sangat tinggi dan luas sehingga membentuk sebuah telaga. Dan akhirnya membentuk sebuah danau. Danau itu akhirnya dikenal dengan nama Danau Toba. Sedangkan pulau kecil di tengahnya dikenal dengan nama Pulau Samosir.

Asak Usul Gunung Tangkuban orahu

Asal Usul Gunung Tangkuban Perahu

Di Jawa Barat tepatnya di Kabupaten Bandung terdapat sebuah tempat rekreasi yang sangat indah yaitu Gunung Tangkuban Perahu. Tangkuban Perahu artinya adalah perahu yang terbalik. Diberi nama seperti karena bentuknya memang menyerupai perahu yang terbalik. Konon menurut cerita rakyat parahyangan gunung itu memang merupakan perahu yang terbalik. Berikut ini ceritanya.
Beribu-ribu tahun yang lalu, tanah Parahyangan dipimpin oleh seorang raja dan seorang ratu yang hanya mempunyai seorang putri. Putri itu bernama Dayang Sumbi. Dia sangat cantik dan cerdas, sayangnya dia sangat manja. Pada suatu hari saat sedang menenun di beranda istana, Dayang Sumbi merasa lemas dan pusing. Dia menjatuhkan pintalan benangnya ke lantai berkali-kali. Saat pintalannya jatuh untuk kesekian kalinya Dayang Sumbi menjadi marah lalu bersumpah, dia akan menikahi siapapun yang mau mengambilkan pintalannya itu. Tepat setelah kata-kata sumpah itu diucapkan, datang seekor anjing sakti yang bernama Tumang dan menyerahkan pintalan itu ke tangan Dayang Sumbi. Maka mau tak mau, sesuai dengan sumpahnya, Dayang Sumbi harus menikahi Anjing tersebut.
Dayang Sumbi dan Tumang hidup berbahagia hingga mereka dikaruniai seorang anak yang berupa anak manusia tapi memiliki kekuatan sakti seperti ayahnya. Anak ini diberi nama Sangkuriang. Dalam masa pertumbuhannya, Sangkuring se lalu ditemani bermain oleh seekor anjing yang bernama Tumang yang dia ketahui hanya sebagai anjing yang setia, bukan sebagai ayahnya. Sangkuriang tumbuh menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa.
Pada suatu hari Dayang Sumbi menyuruh anaknya pergi bersama anjingnya untuk berburu rusa untuk keperluan suatu pesta. Setelah beberapa lama mencari tanpa hasil, Sangkuriang merasa putus asa, tapi dia tidak ingin mengecewakan ibunya. Maka dengan sangat terpaksa dia mengambil sebatang panah dan mengarahkannya pada Tumang. Setibanya di rumah dia menyerahkan daging Tumang pada ibunya. dayanng Sumbi yang mengira daging itu adalah daging rusa, merasa gembira atas keberhasilan anaknya.
Segera setelah pesta usai Dayang Sumbi teringat pada Tumang dan bertanya pada pada anaknya dimana Tumang berada. Pada mulanya Sangkuriang merasa takut, tapa akhirnya dia mengatakan apa yang telah terjadi pada ibunya. Dayang Sumbi menjadi sangat murka, dalam kemarahannya dia memukul Sangkuriang hingga pingsan tepat di keningnya. Atas perbuatannya itu Dayang Sumbi diusir keluar dari kerajaan oleh ayahnya. Untungnya Sangkuriang sadar kembali tapi pukulan ibunya meninggalkan bekas luka yang sangat lebar di keningnya.Setelah dewasa, Sangkuriang pun pergi mengembara untuk mengetahui keadaan dunia luar.
Beberapa tahun kemudian, Sangkuriang bertemu dengan seorang wanita yang sangat cantik. Segera saja dia jatuh cinta pada wanita tersebut. Wanita itu adalah ibunya sendiri, tapi mereka tidak saling mengenali satu sama lainnya. Sangkuriang melamarnya, Dayang Sumbi pun menerima dengan senang hati. Sehari sebelum hari pernikahan, saat sedang mengelus rambut tunangannya, Dayang Sumbi melihat bekas luka yang lebar di dahi Sangkuriang, akhirnya dia menyadari bahwa dia hampir menikahi putranya sendiri. Mengetahui hal tersebut Dayang Sumbi berusaha menggagalkan pernikahannya. Setelah berpikir keras dia akhirnya memutuskan untuk mengajukan syarat perkawinan yang tak mungkin dikabulkan oleh Sangkuriang. Syaratnya adalah: Sangkuriang harus membuat sebuah bendungan yang bisa menutupi seluruh bukit lalu membuat sebuah perahu untuk menyusuri bendungan tersebut. Semua itu harus sudah selesai sebelum fajar menyingsing.
Sangkuriang mulai bekerja. Cintanya yang begitu besar pada Sangkuriang memberinya suatu kekuatan aneh. Tak lupa dia juga menggunakan kekuatan yang dia dapat dari ayahnya untuk memanggil jin-jin dan membantunya. Dengan lumpur dan tanah mereka membendung air dari sungai dan mata air. Beberapa saat sebelum fajar, Sangkuriang menebang sebatang pohon besar untuk membuat sebuah perahu. Ketika Dayang Sumbi melihat bahwa Sangkuriang hampir menyelesaikan pekerjaannya, dia berdoa pada dewa-dewa untuk merintangi pekerjaan anaknya dan mempercepat datangnya pagi.
Ayam jantan berkokok, matahari terbit lebih cepat dari biasanya dan Sangkuriang menyadari bahwa dia telah ditipu. Dengan sangat marah dia mengutuk Dayang Sumbi dan menendang perahu buatannya yang hampir jadi ke tengah hutan. Perahu itu berada disana dalam keadaan terbalik, dan membentuk Gunung Tangkuban Perahu(perahu yang menelungkub). Tidak jauh dari tempat itu terdapat tunggul pohon sisa dari tebangan Sangkuriang, sekarang kita mengenalnya sebagai Bukit Tunggul. Bendungan yang dibuat Sangkuriang menyebabkan seluruh bukit dipenuhi air dan membentuk sebuah danau dimana Sangkuriang dan Dayang Sumbi menenggelamkan diri dan tidak terdengar lagi kabarnya hingga kini.

biodata Bambang Yudhoyono

Susilo Bambang Yudhoyono




Nama : Jenderal TNI (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono
Lahir : Pacitan, Jawa Timur, 9 September 1949
Agama : Islam
Istri : Kristiani Herawati,
putri ketiga almarhum Jenderal (Purn) Sarwo Edhi Wibowo
Anak : Agus Harimurti Yudhoyono dan Edhie Baskoro Yudhoyono

Pangkat terakhir :
Jenderal TNI (25 September 2000)
Pendidikan:
= Akademi Angkatan Bersenjata RI (Akabri) tahun 1973
= American Language Course, Lackland, Texas AS, 1976
= Airbone and Ranger Course, Fort Benning , AS, 1976
= Infantry Officer Advanced Course, Fort Benning, AS, 1982-1983
= On the job training di 82-nd Airbone Division, Fort Bragg, AS, 1983
= Jungle Warfare School, Panama, 1983
= Antitank Weapon Course di Belgia dan Jerman, 1984
= Kursus Komando Batalyon, 1985
= Sekolah Komando Angkatan Darat, 1988-1989
= Command and General Staff College, Fort = Leavenwort,Kansas, AS
Master of Art (MA) dari Management Webster University, Missouri, AS

Karier:
- Dan Tonpan Yonif Linud 330 Kostrad (1974-1976)
- Dan Tonpan Yonif 305 Kostrad (1976-1977)
- Dan Tn Mo 81 Yonif Linud 330 Kostrad (1977)
- Pasi-2/Ops Mabrigif Linud 17 Kujang I Kostrad (1977-1978)
- Dan Kipan Yonif Linud 330 Kostrad (1979-1981)
- Paban Muda Sops SUAD (1981-1982)
- Komandan Sekolah Pelatih Infanteri (1983-1985)
- Dan Yonif 744 Dam IX/Udayana (1986-1988)
- Paban Madyalat Sops Dam IX/Udayana (1988)
- Dosen Seskoad (1989-1992)
- Korspri Pangab (1993)
- Dan Brigif Linud 17 Kujang 1 Kostrad (1993-1994)
- Asops Kodam Jaya (1994-1995)
- Danrem 072/Pamungkas Kodam IV/Diponegoro (1995)
- Chief Military Observer United Nation Peace Forces (UNPF) di Bosnia-Herzegovina (sejak awal November 1995)
- Kasdam Jaya (1996-hanya lima bulan)
- Pangdam II/Sriwijaya (1996-) sekaligus Ketua Bakorstanasda
- Ketua Fraksi ABRI MPR (Sidang Istimewa MPR 1998)
- Kepala Staf Teritorial (Kaster ABRI (1998-1999)
- Mentamben (sejak 26 Oktober 1999)
- Menko Polsoskam (Pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid)
- Menko Polkam (Pemerintahan Presiden Megawati Sukarnopotri) mengundurkan diri 11 Maret 2004

Penugasan:
Operasi Timor Timur (1979-1980), dan 1986-1988

Penghargaan:
- Adi Makayasa (lulusan terbaik Akabri 1973)
- Honorour Graduated IOAC, USA, 1983
- Tokoh Berbahasa Lisan Terbaik, 2003.

biodata Megawati Sukarno Putri

Megawati Sukarno Putri





Nama : Dr (HC) Hj. Megawati Soekarnoputri
Nama Lengkap : Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri
Lahir : Yogyakarta, 23 Januari 1947
Agama : Islam
Suami : Taufik Kiemas
Anak: 3 orang, (2 putra, 1 putri)

Karir :
:: Presiden Ke-5 RI (2001 - 2004)
:: Wakil Presiden RI (1999- 2001)
:: Anggota DPR/MPR RI (1999)
:: Anggota DPR/MPR RI (1987-1992)

Pendidikan :
:: SD s/d SMA Perguruan Cikini
:: Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran (1965-1967)
:: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (1970-1972).

Organisasi :
:: Aktivis GMNI, 1965-1972
:: Ketua Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Cabang Jakarta Pusat
:: Ketua Umum DPP PDI, 1993-1998, Hasil Munas 1993, 22 Desember 1993-1998
:: Ketua Umum DPP PDI Perjuangan, 1998-April 2000, Hasil Kongres 1998, Sanur, Bali, 8-10 Oktober 1998
:: Ketua Umum DPP PDI Perjuangan, April 2000-2005, Hasil Kongres PDI-P, Semarang, Jawa Tengah, April 2000
:: Peserta Konvensi Wanita Islam International di Pakistan, 1994

Penghargaan
:: “Priyadarshni Award” dari lembaga Priyadarshni Academy, Mumbay, India, 19 September 1998
:: Doctor Honoris Causa dari Universitas Waseda, Tokyo, Jepang, 29 September 2001

biodata Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

Abdurrahman Wahid (Gus Dur)




Nama: Abdurrahman Wahid
Lahir : Denanyar, Jombang, Jawa Timur, 4 Agustus 1940.
Orang Tua: Wahid Hasyim (ayah), Solechah (ibu).
Istri : Sinta Nuriyah
Anak-anak : Alisa Qotrunada Zannuba Arifah Anisa Hayatunufus Inayah Wulandari
Pendidikan :
• Pesantren Tambak Beras, Jombang (1959-1963)
• Departemen Studi Islam dan Arab Tingkat Tinggi, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir (1964-1966)
• Fakultas Surat-surat Universitas Bagdad (1966-1970)
Karir:
• Pengajar Pesantren Pengajar dan Dekan Universitas Hasyim Ashari Fakultas Ushuludin (sebuah cabang teologi menyangkut hukum dan filosofi)
• Ketua Balai Seni Jakarta (1983-1985)
• Penemu Pesantren Ciganjur (1984-sekarang)
• Ketua Umum Nahdatul Ulama (1984-1999)
• Ketua Forum Demokrasi (1990)
• Ketua Konferensi Agama dan Perdamaian Sedunia (1994)
• Anggota MPR (1999)
• Presiden Republik Indonesia (20 Oktober 1999-24 Juli 2001)
Penghargaan
• Penghargaan Magsaysay dari Pemerintah Filipina atas usahanya mengembangkan hubungan antar-agama di Indonesia (1993)
• Penghargaan Dakwah Islam dari pemerintah Mesir (1991)

biodata B.J. Habibie

B.J. Habibie




Nama: Prof. Dr.Ing. Dr. Sc.h.c. Bacharuddin Jusuf Habibie
Lahir: Pare-Pare, 25 Juni 1936
Agama: Islam
Jabatan : Presiden RI Ketiga (1998-1999)
Pendiri dan Ketua Dewan Pembina The Habibie Center
Istri: dr. Hasri Ainun Habibie (Menikah 12 Mei 1962)
Anak: Ilham Akbar dan Thareq Kemal
Cucu: Empat orang
Ayah: Alwi Abdul Jalil Habibie
Ibu: R.A. Tuti Marini Puspowardoyo
Jumlah Saudara: Anak Keempat dari Delapan Bersaudara

Pendidikan :
1. ITB Bandung, tahun 1954
2. Rheinisch Westfalische Technische Hochscule (RWTH), Aachen, Jerman, dengan gelar Diplom-Ingenieur, predikat Cum laude pada Fakultas Mekanikal Engineering, Departemen Desain dan Konstruksi Pesawat Terbang (1955-1960).
3. Rheinisch Westfalische Technische Hochscule (RWTH), Aachen, Jerman, dengan gelar doktor konstruksi pesawat terbang, predikat Summa Cum laude, pada Fakultas Mekanikal Engineering, Departemen Desain dan Konstruksi Pesawat Terbang (1960-1965).
4. Menyampaikan pidato pengukuhan gelar profesor tentang konstruksi pesawat terbang di ITB Bandung, pada tahun 1977.

Pekerjaan :
1. Kepala Riset dan Pengembangan Analisis Struktur pada perusahaan Hamburger Flugzeugbau Gmbh, Hamburg, Jerman antara tahun 1965-1969.
2. Kepala Divisi Metode dan Teknologi pada Pesawat Komersial dan Angkut Militer MBB Gmbh, di Hamburg dan Munchen antara 1969-19973
3. Wakil Presiden dan Direktur Teknologi pada MBB Gmbh, Hamburg dan Munchen tahun 1973-1978
4. Penasehat Senior Teknologi pada Dewan Direksi MBB tahun 1978.
5. Pulang ke Indonesia dan memimpin Divisi Advanced Technology Pertamina, yang merupakan cikal bakal BPPT, tahun 1974-1978.
6. Penasehat Pemerintah Indonesia di Bidang Pengembangan Teknologi dan Pesawat Terbang, bertanggungjawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia Soeharto pada tahun 1974-1978.
7. Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek) sekaligus Ketua Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) tahun 1978-1998.
8. Wakil Presiden R.I. pada 11 Maret 1998-21 Mei 1998.
9. Presiden RI 21 Mei 1998-20 Oktober 1999.

Organisasi:
Pendiri dan Ketua Umum ICMI

Penghargaan:
Theodore van Karman Award

biodata H.M. soeharto

H.M. Soeharto




Nama: H. Muhammad Soeharto
Lahir: Kemusuk, Argomulyo, Godean, 1 Juni 1921
Meningal : 27 Januari 2008
Agama: Islam

Jabatan Terakhir: Presiden Republik Indonesia (1966-1998)
Pangkat: Jenderal Besar (Bintang Lima)

Isteri: Ibu Tien Soeharto ( Siti Hartinah)

Anak:
Siti Hardiyanti Hastuti (Mbak Tutut)
Sigit Harjojudanto
Bambang Trihatmodjo
Siti Hediati
Hutomo Mandala Putra (Tommy)
Siti Hutami Endang Adiningsih

Ayah: Kertosudiro
Ibu: Sukirah


biodata ir.soekarno

Ir. Soekarno



Nama: Ir. Soekarno
Nama Panggilan: Bung Karno
Nama Kecil: Kusno.
Lahir: Blitar, Jatim, 6 Juni 1901
Meninggal: Jakarta, 21 Juni 1970
Makam: Blitar, Jawa Timur
Gelar (Pahlawan): Proklamator
Jabatan: Presiden RI Pertama (1945-1966)
Isteri dan Anak: Tiga isteri delapan anak
Isteri Fatmawati, anak: Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati dan Guruh
Isteri Hartini, anak: Taufan dan Bayu
Isteri Ratna Sari Dewi, wanita turunan Jepang bernama asli Naoko Nemoto, anak: Kartika.

Ayah: Raden Soekemi Sosrodihardjo
Ibu: Ida Ayu Nyoman Rai
Pendidikan:
HIS di Surabaya (indekos di rumah Oemar Said Tokroaminoto, politisi kawakan pendiri Syarikat Islam)
HBS (Hoogere Burger School) lulus tahun 1920
THS (Technische Hoogeschool atau sekolah Tekhnik Tinggi yang sekarang menjadi ITB) di Bandung lulus 25 Mei 1926

Ajaran: Marhaenisme
Kegiatan Politik: Mendirikan PNI (Partai Nasional Indonesia) pada 4 Juli 1927
Dipenjarakan di Sukamiskin, Bandung pada 29 Desember 1929
Bergabung memimpin Partindo (1931)
Dibuang ke Ende, Flores tahun 1933 dan Empat tahun kemudian dipindahkan ke Bengkulu.
Merumuskan Pancasila 1 Juni 1945
Bersama Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945



| 9 komentar ]
Saya iseng mau tahu sejarah "lobang buaya" kebetulan saya pun tinggal tak jauh dari Lobang buaya ya setidaknya saya juga tinggal tak jauh dari TMII (Taman Mini Indonesia Indah), Memang penuh sejarah tempat yang saya dimana saya tinggal. Setidaknya penuh cerita dari orang-orang tua yang suka duduk dan berbincang-bincang di warung kopi yang sering kami bercanda dan berbagi cerita semua kehidupan disini.

"Dasyat" memang cerita dari orang tua (sesepuh) disini tentang lobang buaya dan sejarah tentang TMII (Taman Mini Indonesia Indah). Saya pun tak sangka "abang jawara kapung" itu dulunya adalah mantan anggota PKI. Dimana dia sering dicari tentara waktu itu, untung saja dia berhasil sembunyi hingga sampe akhirnya sampe saat ini dia masih hidup. Sejarah memang sangat "Romatis". Dan saya pun tak sangka ternyata dia adalah mantan suami salah satu anggota DPR saat ini. Kisah hidup yang sangat panjang. Banyak pelajaran yang saya petik dari kumpul-kumpul bersama bapak-bapak yang suka duduk di warung kopi sebelah yang hanya menghabiskan malam-malam yang dingin.

Banyak yang konon katanya bla..bla..bla dan sebagainya. Saya pun penasaran saya mau tahu sejarah "misteri lobang buaya" untung saya hidup di zaman yang penuh tenologi, sehingga saya mudah mendapat informasi. Yang penting ada koneksi internet dan semuapun berjalan lancar (he.2). Banyak infomarsi tentang sejarah lobang buaya. Tapi setidaknya saya masih memegang sejarah dari "sesepuh" disini tentang lobang buaya. Sudah saya bilang sejarah memang "sangat romantis" walaupun penuh duka, tetap saja bagi saya sejarah itu "romantis". JAS MERAH - bung karno.

Misteri Lubang Buaya

OLEH INDARWATI AMINUDDIN dan AGUS SOPIAN

HUJAN turun deras. Datuk Banjir menutup kepalanya dengan kain sarung. Begitu juga kedua temannya. Dalam gelap, getek yang mereka naiki dibiarkan melaju sendiri mengikuti riak air. Di sebuah tempat, getek tiba-tiba berhenti. Datuk mengambil galah dan membenamkan ujungnya ke dasar air untuk mendapatkan gerak maju. Dasar air tak tersentuh. Getek tetap diam. Dicobanya lagi, masih tak berhasil. Datuk mengira, di sana ada lubang tempat persembunyian buaya.

Ketika air telah surut, Datuk kembali ke sana. Benar saja, di situ terdapat sebuah lubang. Bentuknya seperti sumur. Ia menamakannya Lubang Buaya.

Legenda Lubang Buaya berkembang dari mulut ke mulut. Terakhir, penduduk sekitar mendengarnya dari H. Yusuf, pria asal Cirebon, yang mengklaim keturunan Datuk Banjir. Mereka yang percaya, mendatangi sumur itu setiap menjelang musim hujan, sekira bulan Oktober. Di sana, mereka menyelenggarakan ruwatan. Doa mohon keselamatan dari ancaman bahaya banjir dipanjatkan. Nama Datuk Banjir yang diyakini menguasai tempat itu, mereka lafalkan dengan khidmat. Tradisi ruwatan meluas ke permohonan lain. Kepada sang penguasa sumur, warga juga meminta limpahan rejeki dan jodoh buat anak-anak gadisnya.

Sumur Lubang Buaya terletak di Desa Lubang Buaya, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur, sekitar 20 kilometer dari pusat kota. Di sebelah selatannya terdapat markas besar Tentara Nasional Indonesia Cilangkap, sebelah utara Lapangan Udara Halim Perdanakusuma, sebelah timur Pasar Pondok Gede, dan barat Taman Mini Indonesia Indah.

Tanah di seputaran bibir sumur berwarna merah kecoklatan dan kering. Bagian terdekat diberi terali besi bercat merah putih. Lantai marmer putih kilap mengelilingi sumur berdiameter 75 centimeter itu. Sebuah cungkup, bangunan seperti pendopo, memayunginya. Langit-langit bangunan ini diukir.

Tepat di atas lubang, sebuah cermin bergantung. Lewat cermin inilah orang bisa menatap dasar sumur yang diberi pelita. Kecuali nyala api tadi, tak ada apa-apa lagi di sana. Jangankan air, rumput pun tak tumbuh di sumur berkedalaman 12 meter itu.

Kalau Lubang Buaya ditata, itu bukan dimaksudkan untuk mengendapkan cerita rakyat tentang Datuk Banjir. Ada cerita lain yang punya dimensi politik, sekaligus jadi bagian sejarah Indonesia dengan segala kontraversinya. Di sanalah jasad tujuh perwira militer, enam jenderal dan seorang letnan, ditemukan dalam keadaan rusak. Peristiwa traumatik ini, terutama bagi militer Indonesia, dikenal dengan nama G-30-S PKI, kependekkan dari “Gerakan 30 September 1965 Partai Komunis Indonesia”.

Pembunuhan atas para perwira itu jadi antiklimaks ofensif PKI terhadap seteru-seteru politiknya. Militer memburu mereka yang dianggap bertanggung jawab. Kekuatan massa PKI habis dalam tempo cepat, menyusul pembantaian besar-besaran atas mereka di berbagai daerah oleh militer dan massa pro-militer. Sebagian di antaranya dijebloskan ke dalam penjara dan diasingkan ke pulau-pulau terpencil.

Kilas balik ofensif PKI, yang ditandai oleh pembentukan milisi dan sayap militer, sekurang-kurangnya dapat ditelusuri ke tanggal 23 Mei 1965. Saat itu, PKI menggelar peringatan ulang tahun. Dalam even ini, D.N. Aidit, ideolog PKI, menyeru kader-kadernya untuk meningkatkan sikap revolusioner.

Perayaan yang mirip ‘parade kekuatan rakyat’ itu semarak dengan poster-poster berisikan slogan-slogan PKI, termasuk propaganda pembentukan “Angkatan V”. Ini merujuk kepada kekuatan buruh dan tani untuk dipersenjatai dan dilatih kemiliteran. Empat angkatan yang telah terbentuk sebelumnya adalah militer angkatan darat, laut, udara dan kepolisian.

Ledakan kebringasan massa hanya tinggal tunggu waktu. Dan benar, seruan Aidit diikuti oleh terjunnya para eksponen PKI ke desa-desa membawa slogan “Desa Mengepung Kota”, tak ubahnya slogan Mao Tse Tung ketika mengobarkan revolusi komunisme di China.

Dalam aksinya, mereka meneriakkan kebencian terhadap unsur-unsur masyarakat yang dianggap jadi lawan-lawan politiknya. PKI mengekspresikannya dalam slogan “Tujuh Setan Desa”. Mereka adalah tuan tanah, tengkulak, bandit desa, tukang ijon, lintah darat, birokrat desa, dan amil zakat. Keadaan memanas, massa PKI melakukan serangkaian pembantaian dan pembunuhan sistematis terhadap “setan-setan” itu.

Aksi brutal PKI meresahkan rival-rivalnya. PNI (Partai Nasional Indonesia), NU (Nahdlatul Ulama), Parkindo (Partai Kebangkitan Indonesia), Partai Katolik, PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia), hingga IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia), siaga menghadapi berbagai kemungkinan seraya melontarkan berbagai kecaman. PKI di satu pihak dan lawan politiknya di pihak lain, berhadap-hadapan untuk suatu konfrontasi terbuka.

Pimpinan PKI di Jakarta, yang tergabung dalam Politbiro, lembaga kekuasaan tertinggi partai berlambang paru dan arit itu, menyambut reaksi seteru-seterunya dengan mempercepat pembentukan milisi. Juli 1965, kader-kader PKI berdatangan ke Lubang Buaya.

Di sana, mereka dilatih oleh sejumlah instruktur militer di bawah pimpinan Mayor Udara Sujono, Komandan Pasukan Pertahanan Pangkalan Halim. Tak hanya kaum pria, kader-kader PKI perempuan pun ikut serta. Kebanyakan dari mereka berasal dari organisasi yang sangat solid pada masa itu: Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia).

Di akhir latihan, mereka mendiskusikan berbagai persoalan politik, terutama sepak-terjang sejumlah jenderal yang dianggap korup dan dekaden hingga Indonesia dilanda krisisis. Saat itu, laju inflasi memang sudah mencapai dua digit. Antrean bahan makanan pokok berlangsung di mana-mana. Banyak rakyat yang kelaparan.

Massa PKI berang. Mereka berteriak-teriak meminta para jenderal itu dihadirkan ke hadapan mereka.

Letnan Kolonel Untung, komandan Cakrabirawa, pasukan pengawal kepresidenan, memerintahkan Letnan Satu Dul Arief untuk menjemput dan membawa jenderal-jenderal yang telah didata. Pasukan Pasopati yang dipimpinnya segera bergerak dari Lubang Buaya sekitar pukul 03.00 WIB. Mereka menyebar ke sasaran masing-masing secara serentak.

Brigadir Jenderal Soetodjo Siswomihardjo, Brigadir Jenderal Donald Izaac Pandjaitan, Mayor Jenderal S. Parman, Mayor Jenderal MT Hardjono, Letnan Jenderal Ahmad Yani, Mayor Jenderal R. Soeprapto dan Letnan Satu Piere Andries Tendean, mereka bawa ke Lubang Buaya untuk diinterogasi. Massa yang sedang kalap menganiaya mereka hingga tewas. Jenazah para korban lantas dibenamkan ke dalam sumur itu. [Versi lain mengatakan sebagian di antara mereka masih hidup ketika dijatuhkan ke sumur.]

Kisah-kisah menyeramkan pun segera mengalir. Soeharto, salah seorang jenderal yang selamat, mengkampanyekan kekejian massa PKI lewat dua koran milik militer: Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha. Disebutkan, sebelum dibunuh, para perwira itu disiksa dan dijadikan bagian pesta mesum Gerwani. Sejumlah perwira disayat-sayat kemaluannya dan matanya dicungkil.

Sebelum dibunuh, mereka dikelilingi kader Gerwani sambil menari-nari dan menyanyikan lagu-lagu rakyat yang sedang populer masa itu, seperti Ganyang Kabir atau Ganyang Tiga Setan Kota ciptaan Soebroto K Atmodjo, komponis Lembaga Kebudayaan Rakyat, organisasi underbouw PKI. Genjer-genjer, lagu pop yang sedang hit waktu itu, ikut menyemarakkan. Mereka yang sudah trance kemudian menusuk-nusukkan pisau ke sejumlah anggota tubuh para korban.

Koran-koran pun memberitakan, dalam suasana yang semakin panas, beberapa wanita menanggalkan busananya, dan tenggelam dalam ritual pesta “Harum Bunga”. Pesta ini sekaligus memuncaki pesta sebelumnya sebagai suatu rangkaian penanda berakhirnya latihan militer mereka. Ada berita lain yang menyebutkan, bahwa dalam pesta itu mereka melakukan hubungan seks liar. Seorang dokter diisukan memberikan pil-pil perangsang syahwat.

“Jelaslah bagi kita,” kata Soeharto, “betapa kejamnya aniaya yang telah dilakukan oleh petualang-petualang biadab dari apa yang dinamakan Gerakan 30 September.”

Mendapat dukungan massa, Soeharto mengambil-alih tongkat komando militer Indonesia. Ia memimpin upacara pengangkatan jenazah dari dalam sumur, mempertontonkannya kepada massa, dan mempublikasi data-data forensik tentang kerusakan jenazah dan penyebabnya. Kebencian akan PKI menyebar ke seantero negeri dan melahirkan perburuan besar-besaran pada tokoh-tokoh serta anggota partai tersebut.

Sudomo, bekas menteri Koordinator Politik dan Keamanan, mengatakan, ada sejuta massa PKI yang terbunuh. Angka ini jauh lebih kecil dari perkiraan peneliti masalah ini, yang menaksir antara dua sampai tiga juta orang.

Mereka yang selamat dari pembunuhan dipenjarakan dan diasingkan ke berbagai tempat, mulai Pulau Nusakambangan [wilayah selatan Indonesia] hingga Pulau Buru [wilayah timur Indonesia]. Hampir semua tahanan politik PKI, yang jumlahnya ribuan, dipenjarakan tanpa proses pengadilan. Bahkan surat penahanan pun mereka terima setelah bertahun-tahun berada di balik jeruji besi.

Soeharto sendiri, lewat secarik kertas bernama Super Semar—kependekkan dari Surat Perintah Sebelas Maret 1966, yang diteken Presiden Soekarno—akhirnya memegang komando militer dengan kekuasaan penuh. Bahkan, dengan kekuasaannya itu, ia mengasingkan Soekarno ke Istana Bogor dengan alasan pengamanan.

Soeharto kemudian menanda-tangani surat keputusan No.1/3/1966 untuk membubarkan PKI. Surat keputusan ini diperkuat lagi dengan Ketetapan Majelis Permusyaratan Rakyat Sementara (Tap MPRS) Nomor 25/1966.

Sejak itu, selain PKI dinyatakan partai terlarang, setiap kegiatan penyebaran atau pengembangan paham dan ajaran Komunisme-Marxisme-Leninisme, dianggal illegal. Seluruh eks PKI dan sanak-familinya tak diperkenankan masuk ke dalam jajaran pemerintahan dan militer. Di kemudian hari, mereka pun tak bisa jadi pegawai swasta karena swasta takut memperkerjakan mereka.

Bandul perubahan politik berjalan dengan cepat. Soeharto, yang sebelumnya sama sekali tak populer di mata rakyat, makin dielu-elukan sebagai penyelamat negara. Tahun 1967, ia diangkat jadi presiden kedua Indonesia oleh MPRS, yang diketuai Jenderal A.H. Nasution. Era Orde Baru dimulai.

Pada tahun itu juga, Soeharto langsung memerintahkan aparatnya untuk membebaskan kawasan Lubang Buaya dari hunian penduduk dalam radius 14 hektar. Mereka yang terusir kebanyakan memilih kampung Rawabinong dan Bambu Apus, beberapa kilometer dari Lubang Buaya, sebagai daerah tujuan.

Tahun 1973, kawasan itu diresmikan sebagai jadi Monumen Pancasila Sakti. Upacara kenegaraan 1 Oktober untuk mengenang peristiwa G-30-S PKI, segera mengubur upacara rakyat ruwatan Oktober untuk menyeru Datuk Banjir.

Ketujuh perwira militer yang terbunuh diabadikan dalam tugu, patung dan relief yang berada sekitar 45 meter sebelah utara cungkup sumur Lubang Buaya. Patung-patung mereka dibangun setinggi kurang lebih 17 meter dengan instalasi patung Burung Garuda di belakangnya. Dinding berbentuk trapesium, berdiri kokoh di atas landasan berukuran 17 x 17 meter bujur sangkar dengan tinggi 7 anak tangga.

Mereka berdiri dalam formasi setelah lingkaran, mulai Soetodjo Siswomiharjo, DI Pandjaitan, S. Parman, Ahmad Yani, R. Soeprapto, MT Hardjono dan AP Tendean. Salah satu patung di monumen tersebut, perwujudan A. Yani, yang di masa lalu jadi saingan Soeharto dalam karir kemiliteran, menunjukkan tangannya ke arah sumur Lubang Buaya—seolah hendak mengatakan, “Di sanalah kami mati.” Mati fisik, mati politik.

Untuk masuk ke dalam monumen, orang harus berjalan sepanjang satu kilometer dari Jalan Raya Pondok Gede. Ucapan “Selamat Datang” terukir di di atas batu besar berwarna hitam. Kembang kertas berada di sepanjang jalan masuk. Sekeliling monumen dibuatkan tembok tinggi dari muka hingga belakang.

Di areal monumen, terdapat museum. Di sini, pengunjung bisa mendengarkan riwayat singkat para jenderal yang terbunuh itu, dengan memasukan koin dan menggenggam gagang telepon di bawah foto mereka. Bagi yang ingin menonton film G-30-S PKI disediakan tempat khusus. Mereka yang ingin membaca, disediakan perpustakaan.

Beberapa bangunan bekas orang-orang PKI menjalankan aktivitasnya bertebaran di sana. Di sebelah kiri sumur, misalnya, terdapat bangunan berukuran sekitar 8 m x 15,5 m yang dijadikan tempat penyiksaan para perwira itu. Bangunan ini terbuat dari ayaman bambu dan bilah-bilah papan yang dicat coklat dengan jendela kaca hitam. Sebelum G-30-S meletus, bangunan tersebut dulunya Sekolah Rakyat.

Di dalam ruangan, terdapat 18 patung. Sebagian di antaranya, patung perwira militer yang sedang disiksa. Di depan mereka, berdiri empat patung perempuan aktivis Gerwani. Salah satunya mengenakan busana tradisional kebaya putih berbunga-bunga kecil, sarung batik, dengan rambut panjang terurai. Ia memegang pentungan dalam sorot mata bengis.

Untuk melihat patung-patung itu, tersedia tiga jendela yang terbuka lebar. Penerangannya jelek. Debu-debu yang menempel di patung-patung tersebut memberi kesan kurang perawatan.

Tak jauh dari sana, berdiri sebuah bangunan bekas dapur umum, yang kabarnya menyimpan suara-suara aneh tanpa wujud. “Tertawa cekikikan dan bahkan melenguh,” kata Yasan Suryana, seorang penjaga yang sudah 17 tahun bertugas sebagai pegawai honorer.

Terlihat, genteng rumah itu pernah direnovasi. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu bercat putih, dengan beberapa bagian dicat hijau. Menurut cerita warga di sana, rumah itu dulunya milik Ibu Amroh, seorang pedagang Cingkau (pakaian keliling). Tak ada yang tahu, di mana Ibu Amroh atau keturunannya berada kini.

Sekitar dua puluh meter dari dapur umum, terdapat rumah Haji Sueb, seorang penjahit. Ada beberapa bilik di dalamnya, dengan tiga lampu petromaks yang berdebu, mesin jahit di ruang tengah dan lemari pakaian dengan kaca besar di pintunya.

Rumah Haji Sueb dianggap sebagai pos komando PKI. Letnan Kolonel Untung, mengatur rencana penculikan terhadap perwira militer dari sana. Haji Sueb sendiri telah lama meninggal, setelah mengalami penahanan panjang di Pulau Buru. Keluarganya trauma dan tak pernah yakin Haji Sueb terlibat dengan gerakan itu. Suara-suara aneh pun sering terdengar di sini. Sejumlah penjaga, konon pernah mendengar suara tangis.

Kisah mistis masih bisa diperpanjang. Elizabeth [tanpa nama referensi kedua], pegawai museum, yang dianggap punya indera keenam oleh teman-temannya, sering melihat sosok perempuan yang tertawa-tawa saat berlangsung apel petugas jaga, yang kesemuanya berjumlah enam orang. Perempuan itu duduk di bawah air mancur yang menghadap Lapangan Saptamarga, tak jauh dari sumur.

Cerita-cerita mistis barangkali sama absurd-nya dengan cerita-cerita perlakuan kader-kader PKI terhadap para perwira militer yang dibunuh, termasuk penyayatan atas kemaluannya. Tahun 1987, dalam jurnal Indonesia terbitan Universitas Cornell, Ben Anderson, seorang ahli sejarah tentang Indonesia, mengungkapkan laporan dokter yang membuat visum et repertum atas jenazah para korban.

Dalam resume penelitian tim dokter yang diketuai Brigjen TNI dr Roebiono Kertapati itu, tertulis bahwa tak ada kemaluan korban yang disayat. Hal ini sekaligus mengukuhkan ucapan Presiden Soekarno, yang sebelumnya sempat mengatakan, bahwa 100 silet yang dibagikan kepada massa untuk menyayat-nyayat tubuh korban tak masuk akal.

Saskia Eleonora Wieringa—seorang sarjana Belanda penulis The Politicization of Gender Relations in Indonesia—menilai penjelasan resmi Orde Baru atas pembunuhan Lubang Buaya sebagai fantasi aneh. Dia mengatakan, penguasa militer dan golongan konservatif khawatir melihat kekuatan perempuan di zaman Soekarno, yang boleh jadi akan mengebiri kekuatan politik mereka. Dari sinilah mengalir fantasi aneh tentang pengebirian para perwira di Lubang Buaya itu.

“Semua pemberitaan mengenai Gerwani adalah fitnah yang dimulai oleh Soeharto sendiri,” kata Sulami, 74 tahun, tokoh Gerwani. Ia, yang kini ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966, pernah melakukan identifikasi terhadap mereka yang dibunuh ketika itu, mulai tempat, cara, hingga siapa saja yang membunuh.

Keberadaan sejumlah anggota Gerwani di Lubang Buaya itu pun masih penuh kabut. Beberapa peneliti justru tak melihat tindakan mereka sebagai usaha persiapan kudeta, melainkan dimaksudkan untuk memberi dukungan terhadap proyek politik Soekarno dalam rangka konfrontasi dengan Malaysia. Mereka adalah bagian dari 20 juta relawan yang hendak memenuhi ajakan Soekarno.

Sejumlah studi kritis mengungkapkan fakta-fakta lain, yang menunjukkan bahwa ofensif PKI justru dipicu oleh rencana kudeta oleh pihak militer. Dalam sebuah pledoi di muka Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) pada 19 Februari 1966, pentolan PKI Nyono memberi kesaksian, bahwa pihak militer telah merancang rencana kudeta di bawah kendali apa yang dinamakan “Dewan Jenderal”. Untuk mengimbangi kekuatan ini, PKI membuat “Dewan Revolusi”.

Perihal Dewan Jenderal diketahui Nyono dari sejumlah informasi yang rinci, lengkap mendeskripsikan tanggal, jam, tempat, nama, acara, persoalan dan lain–lainnya. “Yang saya masih ingat,” ungkap Nyono, “ialah bahwa tidak semua jenderal masuk dalam Dewan Jenderal. Jumlah anggotanya kurang lebih 40 Jenderal, diantaranya kurang lebih 25 orang aktif menjalankan politik Dewan Jenderal. Tokoh–tokoh utamanya ada tujuh orang yaitu Jenderal Nasution, A..Yani, Suparman, Haryono, Suprapto, Sutoyo, dan Sukendro.”

Untuk mencapai ambisinya, mereka sering menggelar berbagai rapat. Terakhir, menurut ingatan Nyono, mereka mengadakan rapat pleno pada 21 September 1965 di Jl. Dr. Abdulrachman Saleh, Jakarta. Rapat yang dipimpin oleh Suparman dan Haryono ini, mensahkan rencana komposisi Kabinet Dewan Jenderal dan menetapkan waktu dilakukannya kudeta, yaitu sebelum Hari Angkatan Perang pada tanggal 5 Oktober 1965.

Komposisi kepemimpinannya, tambah Nyono, terdiri atas AH Nasution (Perdana Menteri), Ruslan Abdul Gani (Wakil Perdana Menteri), A. Yani (Menteri Pertahanan dan Keamanan), Suprapto (Menteri Dalam Negeri), Haryono (Menteri Luar Negeri), Sutoyo (Menteri Kehakiman) serta Suparman (Jaksa Agung).

Apapun, suara Nyono tenggelam di antara arus besar pembersihan orang-orang PKI dan catatan-catatan resmi yang bersumber dari pemerintah. Demikian pula hasil penelitian-penelitian forensik yang mencoba mengungkap sekitar kekejaman orang-orang PKI terhadap para perwira militer di Lubang Buaya itu. Penolakan sejumlah politikus untuk menghapus Tap MPRS Nomor 25/1966, ikut melestarikan cerita versi Orde Baru sebagai satu-satunya referensi sejarah sekitar peristiwa G-30-S PKI.

Ide penghapusan bukan hanya datang dari para peneliti, sejarawan dan masyarakat awam. Abdurrahman Wahid, presiden ke-4 Indonesia, sempat membicarakannya secara terbuka, walau mendapat kecaman dari sana-sini, termasuk dari Nahdlatul Ulama, sebuah organisasi massa Islam terbesar di Indonesia yang pernah dipimpinnya. Mengikuti pembicaraannya, Wahid bahkan melontarkan permintaan maaf atas nama rakyat terhadap orang-orang PKI yang selama puluhan tahun ditindas oleh negara di bawah pemerintahan Orde Baru.

Megawati Sukarnaputri, pengganti Wahid, tak pernah bertindak seperti itu. Tapi, di tahun 2002, ia tak hadir pada upacara 1 Oktober di Lubang Buaya. Apakah ini bentuk penolakan Megawati atas sejarah versi Orde Baru itu, tak pernah jelas. Tapi, sejatinya, ketidakhadiran Presiden dimungkinkan oleh protokoler negara sejak lahirnya Keputusan Presiden tentang perubahan nama peringatan: dari “Hari Kesaktian Pancasila” menjadi “Hari Mengenang Tragedi Nasional Akibat Pengkhianatan G-30-S PKI terhadap Pancasila”.

Sekadar mengikuti peraturan? Menteri Pendidikan Nasional A. Malik Fadjar, yang ditunjuk ketua panitia pusat peringatan saat itu, mengatakan kepada pers bahwa absennya Megawati pada upacara tersebut karena ia tak ingin “membuka luka lama.”

Kamis, 27 Oktober 2011

Cara Penyebaran Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Berkas:Peristiwa Proklamasi dan Pemb NKRI 10.jpg
Gedung Menteng 31 yang digunakan sebagai tempat pemancar radio yang baru
Wilayah Indonesia sangatlah luas. Komunikasi dan transportasi sekitar tahun 1945 masih sangat terbatas. Di samping itu, hambatan dan larangan untuk menyebarkan berita proklamasi oleh pasukan Jepang di Indonesia, merupakan sejumlah faktor yang menyebabkan berita proklamasi mengalami keterlambatan di sejumlah daerah, terutama di luar Jawa. Namun dengan penuh tekad dan semangat berjuang, pada akhirnya peristiwa proklamasi diketahui oleh segenap rakyat Indonesia. Lebih jelasnya ikuti pembahasan di bawah ini. Penyebaran proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 di daerah Jakarta dapat dilakukan secara cepat dan segera menyebar secara luas. Pada hari itu juga, teks proklamasi telah sampai di tangan Kepala Bagian Radio dari Kantor Domei (sekarang Kantor Berita ANTARA), Waidan B. Palenewen. Ia menerima teks proklamasi dari seorang wartawan Domei yang bernama Syahruddin. Kemudian ia memerintahkan F. Wuz (seorang markonis), supaya berita proklamasi disiarkan tiga kali berturut-turut. Baru dua kali F. Wuz melaksanakan tugasnya, masuklah orang Jepang ke ruangan radio sambil marah-marah, sebab mengetahui berita proklamasi telah tersiar ke luar melalui udara.
Meskipun orang Jepang tersebut memerintahkan penghentian siaran berita proklamasi, tetapi Waidan Palenewen tetap meminta F. Wuz untuk terus menyiarkan. Berita proklamasi kemerdekaan diulangi setiap setengah jam sampai pukul 16.00 saat siaran berhenti. Akibat dari penyiaran tersebut, pimpinan tentara Jepang di Jawa memerintahkan untuk meralat berita dan menyatakan sebagai kekeliruan. Pada tanggal 20 Agustus 1945 pemancar tersebut disegel oleh Jepang dan para pegawainya dilarang masuk. Sekalipun pemancar pada kantor Domei disegel, para pemuda bersama Jusuf Ronodipuro (seorang pembaca berita di Radio Domei) ternyata membuat pemancar baru dengan bantuan teknisi radio, di antaranya Sukarman, Sutamto, Susilahardja, dan Suhandar. Mereka mendirikan pemancar baru di Menteng 31, dengan kode panggilan DJK 1. Dari sinilah selanjutnya berita proklamasi kemerdekaan disiarkan.
Usaha dan perjuangan para pemuda dalam penyebarluasan berita proklamasi juga dilakukan melalui media pers dan surat selebaran. Hampir seluruh harian di Jawa dalam penerbitannya tanggal 20 Agustus 1945 memuat berita proklamasi kemerdekaan dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Harian Suara Asia di Surabaya merupakan koran pertama yang memuat berita proklamasi. Beberapa tokoh pemuda yang berjuang melalui media pers antara lain B.M. Diah, Sayuti Melik, dan Sumanang. Proklamasi kemerdekaan juga disebarluaskan kepada rakyat Indonesia melalui pemasangan plakat, poster, maupun coretan pada dinding tembok dan gerbong kereta api, misalnya dengan slogan Respect our Constitution, August 17!(Hormatilah Konstitusi kami tanggal 17 Agustus!) Melalui berbagai cara dan media tersebut, akhirnya berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dapat tersebar luas di wilayah Indonesia dan di luar negeri. Di samping melalui media massa, berita proklamasi juga disebarkan secara langsung oleh para utusan daerah yang menghadiri sidang PPKI. Berikut ini para utusan PPKI yang ikut menyebarkan berita proklamasi.

Detik-detik Pembacaan Naskah Proklamasi

Perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berlangsung pukul 02.00 - 04.00 dini hari. Teks proklamasi ditulis di ruang makan di laksamana Tadashi Maeda Jln Imam Bonjol No 1. Para penyusun teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Mr. Ahmad Soebarjo. Konsep teks proklamasi ditulis oleh Ir. Soekarno sendiri. Di ruang depan, hadir B.M Diah Sayuti Melik, Sukarni dan Soediro. Sukarni mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia. Teks Proklamasi Indonesia itu diketik oleh Sayuti Melik. Pagi harinya, 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara lain Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani dan Trimurti. Acara dimulai pada pukul 10:00 dengan pembacaan proklamasi oleh Soekarno dan disambung pidato singkat tanpa teks. Kemudian bendera Merah Putih, yang telah dijahit oleh Ibu Fatmawati, dikibarkan, disusul dengan sambutan oleh Soewirjo, wakil walikota Jakarta saat itu dan Moewardi, pimpinan Barisan Pelopor.
Pada awalnya Trimurti diminta untuk menaikkan bendera namun ia menolak dengan alasan pengerekan bendera sebaiknya dilakukan oleh seorang prajurit. Oleh sebab itu ditunjuklah Latief Hendraningrat, seorang prajurit PETA, dibantu oleh Soehoed untuk tugas tersebut. Seorang pemudi muncul dari belakang membawa nampan berisi bendera Merah Putih (Sang Saka Merah Putih), yang dijahit oleh Fatmawati beberapa hari sebelumnya. Setelah bendera berkibar, hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya.[4]. Sampai saat ini, bendera pusaka tersebut masih disimpan di Museum Tugu Monumen Nasional.
Setelah upacara selesai berlangsung, kurang lebih 100 orang anggota Barisan Pelopor yang dipimpin S.Brata datang terburu-buru karena mereka tidak mengetahui perubahan tempat mendadak dari Ikada ke Pegangsaan. Mereka menuntut Soekarno mengulang pembacaan Proklamasi, namun ditolak. Akhirnya Hatta memberikan amanat singkat kepada mereka.[5]

Pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengambil keputusan, mengesahkan dan menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang selanjutnya dikenal sebagai UUD 45. Dengan demikian terbentuklah Pemerintahan Negara Kesatuan Indonesia yang berbentuk Republik (NKRI) dengan kedaulatan di tangan rakyat yang dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akan dibentuk kemudian.
Setelah itu Soekarno dan M.Hatta terpilih atas usul dari Oto Iskandardinata dan persetujuan dari PPKI sebagai presiden dan wakil presiden Re

peristiwa rengasdenqkok.

Pada tanggal 6 Agustus 1945 sebuah bom atom dijatuhkan di atas kota Hiroshima Jepang oleh Amerika Serikat yang mulai menurunkan moral semangat tentara Jepang di seluruh dunia. Sehari kemudian Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI, atau "Dokuritsu Junbi Cosakai", berganti nama menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau disebut juga Dokuritsu Junbi Inkai dalam bahasa Jepang, untuk lebih menegaskan keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 9 Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan di atas Nagasaki sehingga menyebabkan Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya.
Indonesian flag raised 17 August 1945.jpg
Soekarno, Hatta selaku pimpinan PPKI dan Radjiman Wedyodiningrat sebagai mantan ketua BPUPKI diterbangkan ke Dalat, 250 km di sebelah timur laut Saigon, Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang di ambang kekalahan dan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Sementara itu di Indonesia, pada tanggal 10 Agustus 1945, Sutan Syahrir telah mendengar berita lewat radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan sebagai hadiah Jepang.
Pada tanggal 12 Agustus 1945, Jepang melalui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, mengatakan kepada Soekarno, Hatta dan Radjiman bahwa pemerintah Jepang akan segera memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dan proklamasi kemerdekaan dapat dilaksanakan dalam beberapa hari, tergantung cara kerja PPKI.[1] Meskipun demikian Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 24 Agustus.
Dua hari kemudian, saat Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke tanah air dari Dalat, Sutan Syahrir mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan karena menganggap hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu muslihat Jepang, karena Jepang setiap saat sudah harus menyerah kepada Sekutu dan demi menghindari perpecahan dalam kubu nasionalis, antara yang anti dan pro Jepang. Hatta menceritakan kepada Syahrir tentang hasil pertemuan di Dalat. Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang telah menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI saat itu dapat menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan dapat berakibat sangat fatal jika para pejuang Indonesia belum siap. Soekarno mengingatkan Hatta bahwa Syahrir tidak berhak memproklamasikan kemerdekaan karena itu adalah hak Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sementara itu Syahrir menganggap PPKI adalah badan buatan Jepang dan proklamasi kemerdekaan oleh PPKI hanya merupakan 'hadiah' dari Jepang (sic).
Indonesia flag raising witnesses 17 August 
1945.jpg
Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu. Tentara dan Angkatan Laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena Jepang telah berjanji akan mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan Sekutu. Sutan Sjahrir, Wikana, Darwis, dan Chaerul Saleh mendengar kabar ini melalui radio BBC. Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal bertekuk lutut, golongan muda mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tua tidak ingin terburu-buru. Mereka tidak menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat proklamasi. Konsultasi pun dilakukan dalam bentuk rapat PPKI. Golongan muda tidak menyetujui rapat itu, mengingat PPKI adalah sebuah badan yang dibentuk oleh Jepang. Mereka menginginkan kemerdekaan atas usaha bangsa kita sendiri, bukan pemberian Jepang.
Soekarno dan Hatta mendatangi penguasa militer Jepang (Gunsei) untuk memperoleh konfirmasi di kantornya di Koningsplein (Medan Merdeka). Tapi kantor tersebut kosong.
Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo kemudian ke kantor Bukanfu, Laksamana Muda Maeda, di Jalan Medan Merdeka Utara (Rumah Maeda di Jl Imam Bonjol 1). Maeda menyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat. Sambil menjawab ia belum menerima konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari Tokyo. Sepulang dari Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada pukul 10 pagi 16 Agustus keesokan harinya di kantor Jalan Pejambon No 2 guna membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan persiapan Proklamasi Kemerdekaan.
Sehari kemudian, gejolak tekanan yang menghendaki pengambilalihan kekuasaan oleh Indonesia makin memuncak dilancarkan para pemuda dari beberapa golongan. Rapat PPKI pada 16 Agustus pukul 10 pagi tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak muncul. Peserta rapat tidak tahu telah terjadi peristiwa rengasdenklok