Periuk Nasi Habib Hasan, Asal Muasal Tanjung Priok Januari 15, 2010
Belasan buruh bangunan proyek tangki yang bekerja di kawasan Terminal Peti Kemas (TPK) Koja, Jakarta Utara, tiba-tiba mengalami keram di leher.Peristiwa itu terjadi setelah salah seorang dari mereka membuang air kecil di sekitar proyek tangki. Kontan saja mereka mengaitkan kejadian itu dengan hal gaib. Soalnya di sekitar kawasan TPK Koja ada makam keramat yang disakralkan warga sekitar, yaitu makam Habib Hasan bin Muhammad Al-Haddad.
Makam ini terletak di Jalan Timur Raya, Kola, Jakarta Utara, tepatnya di dekat pintu masuk Terminal Peti Kemas Koja. Lokasi proyek yang dikerjakan para buruh itu hanya terpaut jarak 200 meter dari makam.
“…makam Habib Hasan itu dipercaya sebagai asal muasal nama Tanjung Priok”
Namun Umar, salah satu pengurus makam menegaskan, peristiwa keram yang dialami para buruh itu tidak ada hubungannya dengan keberadaan makam keramat Habib Hasan bin Muhammad Al-Haddad. “Makam Habib Hasan ini tempat bersejarah,” katanya.
Dikisahkannya, makam Habib Hasan itu dipercaya sebagai asal muasal nama Tanjung Priok. Karena itu orang kerap menyebut makam ini sebagai makam Mbah Priok.
Diceritakan, Habib Hasan bin Muhammad Al-Haddad lahir di Ulu, Palembang, Sumatera Selatan, pada tahun 1727 M. Masa kecil Habib Hasan banyak dihabiskan dengan belajar mengaji kepada kakek dan ayahnya di Palembang.
Saat remaja Habib Hasan mengembara beberapa tahun ke Hadramaut, Yaman Selatan, untuk memperdalam agama Islam. Dari Hadramaut, Habib kembali ke Palembang untuk melakukan syiar agama Islam sekaligus menemui adik bungsunya, Habib Zein bin Muhammad Al-Haddad yang kelahiran Palembang.
Keduanya lalu berlayar ke Pulau Jawa dengan tujuan menyiarkan agama Islam bersama tiga orang azami dari Palembang. Dalam perjalanan, rombongan berhadapan dengan kapal perang Belanda yang menghujani dengan meriam. Namun tidak satu pun peluru meriam Belanda tersebut mengenai perahu layar para habib, apalagi melukai tubuh penumpangnya.
Beberapa tahun kemudian, habib kembali ke tempat kelahirannya di Ulu, Palembang. Ketika itu banyak petani asal Banten yang dibantu para ulama berjuang melawan Belanda dan banyak ulama melarikan diri ke Palembang. Di Palembang mereka mendapat perlindungan Habib Hasan.
Dalam perjalanan selanjutnya menuju Batavia, mereka sempat singgah di beberapa tempat sampai akhirnya perahu mereka dihantam badai. Perahu terguncang dan perbekalan tumpah ke laut.
Beruntung ketika itu masih ada peralatan dapur, yakni periuk dan beberapa liter beras. Untuk menanak nasi, mereka menggunakan beberapa potong kayu kapal sebagai bahan bakar.
Suatu saat mereka kembali dihantam badai hingga perahu mereka pecah dan tenggelam. Habib Hasan menyelamatkan diri dengan mengapung menggunakan beberapa batang kayu pecahan perahu.
Karena tidak makan selama sepuluh hari, Habib Hasan jatuh sakit dan selang beberapa lama kemudian wafat.
Sementara pengikutnya, yakni Habib Ali Al-Haddad dalam kondisi masih lemah, bertahan duduk di pecahan perahu bersama jenazah Habib Hasan. Pecahan perahu itu terdorong oleh ombak-ombak kecil hingga terdampar di pantai utara Batavia.
Para nelayan yang menemukan segera menolong dan memakamkan jenazah Habib Hasan. Kayu dayung yang patah digunakan sebagai nisan di bagian kepada, dan di bagian kaki ditancapkan nisan dari sebatang kayu. Periuk nasi ditaruh di sisi makam dan sebagai pertanda, di makamnya ditanam bunga tanjung.
Masyarakat sekitar melihat kuburan yang ada periuknya itu bercahaya pada malam hari. Lama-kelamaan masyarakat mengmakan daerah tersebut Tanjung Periuk. Ada juga yang menyebut Pondok Dayung yang artinya dayung pendek. Sebenarnya tempat makam yang sekarang adalah makam pindahan dari makam asli yang berada di Pondok Dayung.
Berulang-ulang Belanda gagal menggusur makam Habib Hasan. Ketika makam digali dengan bantuan sang adik, jenazah Habib ditemukan masih utuh, begitu pula kain kafannya. Jasad itu lalu dipindahkan ke makam yang ada sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar