Asal Usul Adzan
17 Agustus 2011 oleh Dwiki Setiyawan
Sebelum adzan Subuh sempat berkumandang di wilayah terbarat benua Afrika, adzan Dzuhur pun siap berkumandang menjelajah belahan dunia lainnya. Sementara kumandang adzan Dzuhur belum sempat terdengar kembali di bagian timur Indonesia, adzan Ashar telah siap menjelajah belahan dunia lainnya. Saat gema adzan Ashar belum selesai, Adzan Magrib telah merambah bumi ini. Selang beberapa saat adzan Isya’ pun siap melanjutkan. Ketika gema adzan Isya’ belum selesai di benua Amerika, adzan Subuh sudah kembali terdengar di sebagian wilayah Indonesia. Seiring bergantinya siang dan malam ternyata adzan akan selalu berkumandang di muka bumi ini. Tanpa kita sadari, para muadzin di seluruh penjuru dunia ini, tak henti-hentinya bersahutan mengumandangkan adzan. Insya Allah, gema adzan akan terus mengawal dunia berputar hingga akhir zaman.
Untaian kalimat memikat di atas saya kutip dari teks yang menyertai kumandang adzan Magrib di Metro TV. Mohon maaf, saya tidak hendak mengupas narasi di pembuka posting ini. Akan tetapi hal lain yang masih bergandengan terkait Asal Asul Adzan.
Tahukah pembaca bagaimana Asal Usul Adzan itu? Tulisan ringan ini akan mengupas tuntas soal dimaksud. Sebagian rujukan yang digunakan untuk penulisan Asal Usul Adzan dan hal yang berkaitan dengannya saya sarikan dari buku Ensiklopedi Tematis Al-Qur’an Jilid 1, terbitan PT Kharisma Ilmu. Sebagian lainnya saya rujuk dari sumber-sumber kompeten.
Tulisan Asal Usul Adzan ini juga saya maksudkan sebagai counter artikel sejenis yang dibuat Forum Murtadin Indonesia (FMI) yang sangat melecehkan umat Islam. Sila pembaca lihat situsnya: http://trulyislam.blogspot.com. Di artikel FMI tersebut, setelah dikupas soal Asal Asul Adzan dengan cukup obyektif, dibagian akhir tulisan ada kalimat menyentak dengan sub-judul ‘Seperti Biasa Muhammad Mencomot Habis Ajaran Yahudi dan Kristen‘. Selanjutnya FMI mengejek, “Karena ingin menyaingi ibadah umat kafir, akhirnya ia suruh Bilal untuk berteriak sekencang-kencangnya. Hal yang sama diikuti para pengurus masjid jaman sekarang. Memasang toa dan speaker ke empat penjuru dengan volume suara sekeras-kerasnya, tanpa memperdulikan bagaimana perasaan umat agama lain.”
Saya tak perlu kebakaran jenggot dengan pernyataan memerahkan telinga dari FMI di atas, cukuplah bahwa sebuah tulisan di dunia maya musti dibalas dengan tulisan senada di dunia maya pula, namun dengan perspektif berimbang dan tanpa prasangka. Lantaran tulisan FMI memenangkan pertarungan kata kunci ‘Asal Usul Adzan‘ di mesin pencari utama (Google, Yahoo, Bing) maka tulisan Asal Usul Adzan ini di satu sisi dimaksudkan untuk bertanding meraih posisi puncak di halaman utama mesin pencari. Setidaknya bisa satu level di atas situs FMI atau satu level di bawahnya. Di sisi lain, tentu saja agar informasi tentang Asal Usul Adzan tidak terdistorsi.
***
Adzan merupakan sarana untuk mengingatkan bahwa waktu shalat telah tiba. Dikarenakan itu, setiap muslim seyogyanya segera mendirikan shalat tatkala adzan berkumandang. Sebagaimana kita ketahui, shalat merupakan salah satu dari lima rukun Islam.
Kumandang adzan, baik di masa kini maupun masa lalu, adalah keunikan karakteristik Islam. Ini sangat terasa apabila seorang muslim bermukim atau mengunjungi ibukota negara-negara Barat. Tatkala mendengar suara adzan berkumandang dari sebuah masjid, “Allahu Akbar, Allahu Akbar,” ia akan merasakan kesan mendalam yang ditimbulkan suara itu. Lebih mengesankan lagi bila ia mendengarnya di sela-sela hiruk-pikuk kehidupan modern di sekeliling masjid itu. Hanya dengan mendengarnya, muslim yang baik akan segera meninggalkan gemerlap kehidupan yang menipu dan palsu. Dengan menghayati makna adzan, sirnalah segala gemerlap dunia yang menipu dari pandangan seorang muslim.
Asal Usul Adzan begitu unik dan menarik. Tuhan Yang Maha Besar melapangkankan penduduk Madinah untuk memeluk Islam. Mereka –kalangan Ansar– menyambut kedatangan Nabi Muhammmad SAW dan pengikutnya –kalangan muhajirin– memasuki Madinah, setelah sebelumnya Allah SWT memperkenankan nabi berhijrah. Di kota Madinah, Islam pun tersebar dengan cepat. Fenomena ini sekaligus berarti bahwa kuantitas umat Islam bertambah.
Seiring dengan bertambahnya kuantitas umat Islam di Madinah, munculah kesulitan kecil di antara kaum muslim untuk memperkirakan waktu shalat. Sampai suatu hari pada tahun kedua Hijriah, sejumlah orang menemui Rasulullah SAW. Di antara hadirin, terdapat Umar bin Khattab. Pertemuan tersebut membahas topik perlunya berkumpul untuk melaksanakan shalat berjamaah dan mencari solusi bagaimana memberitahu umat Islam bahwa waktu shalat tengah menjelang.
Sejumlah hadirin mengusulkan penggunaan lonceng, sama dengan yang digunakan orang Nasrani untuk memanggil jemaatnya ke gereja. Adapun hadirin yang lain menawarkan terompet yang terbuat dari tanduk, sama dengan yang digunakan orang Yahudi ketika memanggil penganutnya ke sinagog-sinagog. Usulan lainnya adalah penggunaan api. Jadi setiap kali waktu shalat tiba, di tempat yang tingg dinyalakan api. Dengan begitu, seluruh muslim dapat melihatnya dan bergegas menuju masjid.
Umar bin Khattab tampak asyik menyimak jalannya musyawarah tersebut. Merasa tidak tertarik dengan ketiga usulan yang terlontar, ia berkata dengan lugas, “Mengapa bukan seorang muslim saja yang menyeru untuk shalat?” Tidak diduga, justru Nabi Muhammad SAW menyetujui gagasan Umar bin Khattab. Sembari memandang Bilal bin Rabah, Nabi berucap, “Hai Bilal, berdiri dan serukanlah shalat!”
Berdasarkan kisah di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, seorang muadzin harus mengumandangkan adzan dalam posisi berdiri. Ucapan Nabi Muhammad SAW, “Hai Bilal, berdiri dan serukanlah shalat!” secara jelas tidak membenarkan adzan dikumandangkan sembari duduk. Di samping itu, nyatalah bahwa muadzin pertama dalam sejarah Islam adalah Bilal bin Rabah.
Kedua, dalam setiap keputusannya, Nabi Muhammad SAW selalu bermusyawarah dengan umatnya. Tindakan Nabi ini selaras dengan Kitab Suci dalam surat Ali Imron ayat 159: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu (Muhammad berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Lantaran itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.”
Sementara itu, lafal adzan yang kita kenal selama ini berasal dari mimpi Abdullah bin Zayd yang kemudian diceritakan kepada Rasulullah, dan kemudian diajarkan dan dihafal oleh Bilal bin Rabah. Bilal dipilih Rasulullah sebagai muadzin pertama lantaran ia diketahui memiliki suara yang merdu.
Dari mana Rasulullah SAW mengetahui bahwa Bilal bin Rabah punya suara merdu? Tidak seorang penulis sejarah pun yang dapat menjawabnya. Akan tetapi diduga Nabi Muhammad SAW mengetahui dari istrinya Aisyah binti Abu Bakar. Tatkala Bilal dan Abu Bakar menderita demam setibanya di Madinah, Aisyahlah yang merawat keduanya. Sepengetahuan Aisyah, jika terserang panas tinggi, Bilal acapkali mengigau dan melantunkan beberapa bait syair Hassan bin Tsabit yang digubah untuk memuji Rasulullah SAW. Wajar jika Aisyah binti Abu Bakar menceritakan fenomena menarik itu kepada Rasulullah SAW.
Dari kisah penunjukkan Bilal bin Rabah di atas, dapat kita tarik benang merah bahwa seorang muadzin juga dipersyaratkan memiliki suara merdu. Tidak seperti yang kadangkala kita saksikan bahwa seseorang dengan vokal pas-pasan bahkan fals memaksakan diri melantunkan lafal adzan dari pengeras suara di masjid-masjid atau surau-suara. Di mana orang yang mendengar lantunannya saja merasa jengkel.
Lafal adzan yang diakui Rasulullah SAW adalah sebagaimana yang diajarkan Abdullah bin Zayd kepada Bilal bin Rabah. Namun demikian, diketahui juga bahwa terdapat kalimat tambahan dalam adzan Subuh yang tidak dijumpai dalam adzan yang diakui Nabi SAW. Kalimat itu adalah ash-shalatu khairun minan-naum, ash-shalatu khairun minan-naum, yang artinya shalat itu lebih baik ketimbang tidur.
Sebagian sejarawan Islam mengalamatkan tambahan itu kepada Bilal bin Rabah. Bilal menambahkan redaksi adzan tersebut tatkala melihat sebagian umat Islam lebih memilih melanjutkan tidur di waktu fajar ketimbang shalat Subuh. Tentu saja, Bilal lebih dulu berkonsultasi kepada Nabi SAW yang kemudian menyetujuinya.
Dalam lafal adzan, terdapat kalimat hayya ‘alal-falah, yang artinya marilah menuju kemenangan. Kata al-falah dalam bahasa Arab berarti an-najah (kesuksesan), al-fauz (kemenangan), dan adh-dhafar (pencapaian). Apabila diresapi, makna kalimat hayya ‘alal-falah yang terdapat dalam adzan sesungguhnya mengajak umat Islam berjuang dalam kehidupan dunia untuk meraih ridha Allah semata.
Dengan kata lain, dalam Islam sejatinya tidak ada istilah kata kalah. Yang ada hanya kemenangan. Hanya sayang sunggguh sayang, di berbagai aspek kehidupann nyata di dunia saat ini, umat Islam ternyata banyak mengalami kekalahan….
Saya telah memaparkan hal-hal penting sekitar Asal Usul Adzan. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi yang membacanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar