Adu Domba di Jatinangor
Dengan menempuh jarak sekitar 140 kilometer dari Jakarta atau 20 kilometer dari Bandung, Anda akan tiba di pertigaan perbatasan wilayah Bandung, Garut, dan Sumedang.
Di sanalah Jatinangor berada, sebagai kota kecamatan di Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Nama Jatinagor sesungguhnya baru dipakai sejak tahun 2000. Sebelumnya, kecamatan ini bernama Cikeruh, sebagai bagian dari blok perkebunan yang ada di kaki Gunung Manglayang.
Wilayah ini ada dalam catatan Topografische Kaart Blaad L.XXV tahun 1908 dan Blaad H.XXV tahun 1909 yang diterbitkan oleh Topografische Dienst van Nederlands Oost Indie. Nama Cikeruh sendiri diambil dari sungai (Ci Keruh) yang melintasi kecamatan tersebut. Bukti sejarah kekuasaan Belanda hingga kini masih dapat dilihat pada menara jam atau menara Loji yang ada di kompleks kampus Unwim. Menara yang dibangun sekitar tahun 1800-an merupakan bagian dari perkebunan karet milik Baron Baud. Selain itu, ada pula Jembatan Cikuda atau yang dikenal dengan jembatan cincin yang dulu menghubungkan jalur kereta Tanjungsari-Rancaekek.
Kini Jatinagor telah berubah menjadi daerah perkotaan padat dan ramai. Pasalnya, di sini terdapat sejumlah perguruan tinggi di antaranya kampus Universitas Padjadjaran (Unpad), Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN), Institut Koperasi Indonesia (Ikopin) dan Universitas Winaya Mukti (Unwim).
Meski demikian, udara sejuk belum beranjak dari wilayah ini. Hal itu yang dirasakan rombongan wartawan yang mengikuti workshop dan outbound yang digelar Departemen Kebudayaan dan Pariwisata di Vila Bumi Khayangan, Kampung Cibacang, Jatinangor belum lama ini. Perjalanan menuju vila sempat menciutkan hati. Pasalnya, dari pintu gerbang Cileunyi sejauh enam kilometer ditempuh dengan cara yang tidak biasa.
Rombongan kami yang tiba menjelang tengah malam di sambut sejumlah jip Land Rover alias landy. Dengan mengendarai mobil tempur ini, kami melanjutkan perjalanan melewati jalan yang berbatu dan terjal. Nyali sedikit ciut melihat kondisi jalan yang didampingi jurang. Maklum, suasana malam hari mengaburkan kondisi sebenarnya. Keesokan harinya, apa yang kami kira jurang ternyata adalah perkebunan terasering milik penduduk setempat. Perjalanan berakhir di di puncak lembah gunung Manglayang, tempat Vila Bumi Khayangan berada.
Kepenatan sepanjang perjalanan dari Jakarta tiba-tiba menguap diembus angin lembah yang sejuk. Kerlip lampu-lampu dari kota nun jauh di bawah sana membuat suasana malam terasa lebih romantis. Sayang, malam itu tidak ada bulan. Menurut pengurus vila, jika masa kita dapat menyaksikan moonrise terbit dari sela-sela gunung.
Udara berangsur menjadi sangat dingin. Menurut penduduk setempat, pada musim kemarau udara di daerah itu bisa sangat ekstrem, sampai 10 derajat Celcius. Untung hal itu tidak terjadi saat kami di sana. Maklum, hampir semua anggota rombongan hanya membawa kostum seadanya.
Keesokan paginya, pemandangan berganti. Kehadiran sang surya dari sela-sela gunung menguak kabut dan menghadirkan pemandangan alam yang sangat indah. Sejauh mata memandang, terhampar pemandangan pedesaan yang khas. Sungai tampak berliku, sawah dan kebun sayuran hijau terbentang, bagai permadani di kaki gunung.
Vila-vila tradisional berdinding bambu dan beratap ijuk yang ditata artistik semakin menunjang kegiatan yang menyatu dengan alam. Di tempat itu sudah tersedia sejumlah fasilitas outbound, seperti jungle tracking, spider web, flying fox, wall climbing, hingga jembatan goyang. Selain itu, Anda juga dapat memilih kegiatan seperti naik kuda, memancing, agrowisata, bercocok tanam, kolam lumpur, api unggun hingga naik egrang, tangkap ikan, hiking ke gunung Manglayang.
Kegiatan di luar ruangan yang menyatu dengan alam ini diyakini dapat meningkatkan kemampuan olah pikir dan olah fisik, bahkan membangkitkan motivasi diri. Manfaat dari kegiatan ini tidak saja buat pribadi, tapi juga tim karena individu dituntut lebih bernyali, kreatif, proaktif, toleransi dan kerja sama untuk satu tujuan.
Adu Domba
Yang menarik kali ini kami tak sekadar outbound, tapi juga mendapat suguhan atraksi dodombaan atau adu domba. Adu domba merupakan salah satu kesenian khas rakyat Jawa Barat yang sudah ada sejak zaman kerajaan Padjadjaran ratusan tahun lampau. Hingga kini kompetisi ini masih digemari, terutama di kalangan tradisional.
Ajang ini merupakan kompetisi ketangkasan dari domba petarung. Domba yang dilombakan adalah jenis domba petarung yang memiliki tanduk melingkar, badan yang kekar, dan berbulu tebal. Domba yang berbobot 60 kilogram hingga 100 kilogram ini dilatih untuk memiliki naluri berkelahi dengan sesamanya. Mungkin dari sini muncul istilah divide et impera itu. Para peserta lomba ini ialah para peternak domba yang tersebar hampir di seluruh Jawa Barat, terutama dari Garut, Sumedang, Bandung, dan Majalengka.
Tak ubahnya pertandingan tinju, adu domba ini juga terdiri dari wasit, pelatih domba, dan juri penilai. Aturan mainnya, begitu ada aba-aba dari wasit dua ekor domba petarung dilepas untuk berlari kencang ke arah berlawanan. Tanduk pun beradu dengan suara keras. Sungguh menegangkan. Jika tak terlatih, tulang leher domba itu bisa retak, sebab berdasarkan aturan yang berlaku lamanya ketangkasan ini sampai 25 kali tumbukan. Wasit akan menghentikan pertandingan bila salah satu domba terlihat lemah.
Menurut Asep (48), biasanya setiap pertandingan dibagi ke dalam dua ronde dan masing-masing ronde terdiri dari sepuluh kali tumbukan kepala. “Setiap tumbukan antarkepala adalah pukulan terbaik. Semakin jauh domba mengambil ancang-ancang, maka kian bagus nilainya karena benturan yang dihasilkan juga semakin kuat,” jelas peternak domba asal Sumedang itu.
Sesungguhnya pada kompetisi adu domba penilaian menang-kalah tidak hanya di arena aduan, tapi juga meliputi kesehatan, postur tubuh, teknik bertanding, pukulan tanduk, dan keberanian. Keriuhan penonton juga turut menentukan kemenangan. Bagi para peternak itu artinya domba mereka akan terdongkrak nilainya. Asep mengaku dombanya yang menang pernah dihargai hingga Rp 10 juta.
Tak heran jika para peternak itu telaten merawat domba-dombanya. Wawan (38) misalnya memberi suplemen khusus berupa telur mentah dan berbagai macam ramuan jamu bagi kedua dombanya. Dia juga mengaku sering memijat domba untuk meregangkan otot agar tidak kram saat lomba. “Domba yang dirawat baik harganya pasti akan bagus,” katanya dalam logat Sunda yang kental.
Biasanya, untuk menyemangati peserta adu domba bunyi-bunyian gamelan dan gendang pencak diperdengarkan di seputar arena. Dan selama pertandingan berlangsung juri,wasit, dan pelatih menari jaipongan dan sesekali melakukan pencak silat setiap kali domba-domba beraksi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar